Sunday, June 21, 2009

Chairil Anwar - Senja di Pelabuhan Kecil

MAGELANG—Wanita tua yang kini telah berusia lebih dari 83 tahun dan tinggal di kompleks ABRI, Taman Badakan, Magelang, itu masih menyisakan garis-garis kecantikannya di wajahnya. Sekalipun harus duduk di kursi roda, ia tak pernah mengurangi aktivitasnya, termasuk kegiatan sosialnya di Rotary Club Magelang.
Ingatannya masih tajam. Ia bahkan masih fasih berbahasa Belanda, Inggris, Jawa, Sunda, Padang, Aceh, dan Banjar.
Dia adalah Sri Ajati alias Ny. R.H. Soeparsono, istri almarhum Mayor Jenderal TNI dokter R.H. Soeparsono—mantan Kepala Rumah Sakit Tentara (RST) dr. Soedjono, Magelang, yang wafat tahun 1994. Nama Sri Ajati diabadikan oleh penyair (almarhum) Chairil Anwar dalam sajaknya yang terkenal ”Senja di Pelabuhan Kecil” yang selengkapnya berbunyi:

Senja di Pelabuhan Kecil

Buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Dari : Deru Campur Debu (1949)

Kritkus Sastra Indonesia Dr. HB. Jassin (almarhum) menilai sajak tersebut sebagai suatu kerawanan hati, suatu kesedihan yang mendalam yang ”tidak terucapkan”. Apakah latar belakang sajak ini ?
Kata kuncinya adalah seorang gadis yang bernama Sri Ajati, seorang gadis yang tinggi semampai, warna kulitnya hitam manis, rambutnya berombak, kerling matanya, kerling matanya sejuk dan dalam. ”Tidak ada agaknya pemuda sehat yang tidak akan jatuh cinta padanya,” kata Jassin dalam bukunya ”Pengarang Indonesia dan Dunianya” (Penerbit PT.Gramedia, Jakarta 1983).
Apa yang hendak diungkapkan Chairil Anwar yang meninggal 28 April 1949 di Jakarta dengan sajaknya Senja di Pelabuhan Kecil? Tanpa kata-kata ”sedih” dan ”rawan”, hanya dengan lukisan suatu keadaan yang menimbulkan rawan itu, kita seolah-olah melihat suatu pigura dalam sajak itu.
Sebuah lukisan pemandangan di tepi laut, dengan gudang-gudang dan rumah tua. Kapal dan perahu yang berlabuh tiada bergerak. Hari gerimis menjelang malam. Terdengar kelepak elang di kejauhan. Di tengah perjalanan yang muram itu, si penyair berjalan tanpa cinta dan harapan, berjalan seorang diri sepanjang semenanjung.

Merasa Tergetar
Sri Ajati alias Ny. R.H. Soeparsono yang kini telah menjadi nenek dari 4 orang putra dan 6 orang cucu, ketika ditemui SH baru-baru ini, di Magelang menyatakan merasa tergetar dengan sajak Chairil Senja di Pelabuhan Kecil . ”Saya merasa tergetar dan sedih membaca sajak tersebut. Saya tahu kalau Chairil membuat sajak untuk saya dari cerita Mimik Sjahrir, anak angkat Bung Sjahrir (almarhum). Konon sajak itu indah sekali,” ujarnya.
Sri Ajati kenal baik dengan Chairil ketika ia bekerja sebagai penyiar radio Jepang di Jakarta tahun 1942. Sri Ajati kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 83 tahun lalu, pernah kuliah di Fakultas Sastra di Jakarta.
Ketika Jepang masuk Indonesia, semua sekolah ditutup dan ia terpaksa menganggur. ”Saya tidak mendapat kiriman uang dari orangtua yang saat itu berada di Binjai, Sumatera Utara. Untung saya dipanggil Mr.Utojo Ramelan, bapak Farida Utojo, untuk bekerja sebagai penyiar di Radio Jepang,” tambahnya.
Di sinilah, Sri Ajati mulai kenal dan sering berkumpul dengan seniman muda waktu itu, seperti Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Gadis Rasid, Nursamsu, Zus Ratulangi, H.B.Jassin dan seniman muda Chairil Anwar.
Chairil, kata Sri Ajati, sering datang ke rumahnya di Jalan Kesehatan, Tanah Abang, Jakarta. ”Suatu hari Chairil datang ke rumah saya. Saya duduk di kursi rotan, sedang Chairil duduk di lantai sambil menceritakan bahwa ia baru mengunjungi seorang temannya bernama Sri. Sang gadis yang bernama Sri memakai daster. Sambil memegang daster yang saya pakai, Chairil berkata bahwa daster yang dipakai Sri terbuat dari sutera asli. Kebetulan daster yang saya pakai terbuat dari sutera asli. Saya tidak tahu siapa yang dimaksud dengan gadis yang bernama Sri,” katanya.
Apakah Chairil pernah menyatakan cintanya kepada Sri Ajati dengan terus terang? ”Orang mengira dengan lahirnya sajak itu seakan-akan Chairil jatuh cinta pada saya, dan seolah-olah berkata-kata langsung kepada saya. Lagian waktu itu saya sudah punya pacar, seorang calon dokter, bernama Soeparsono,” jelasnya.
Ny. R.H. Soeparsono yang pernah tampil di pentas ”Ken Arok dan Ken Dedes” karya Muhammad Yamin di Gedung Kesenian Jakarta tahun 1947, menyebut penyair pelopor angkatan ’45 ini sebagai seorang seniman komplet seratus persen.
”Dia orang yang di dalam hatinya selalu ada desakan-desakan untuk melahirkan sesuatu. Dia bukan orang atau seniman biasa. Setiap kali saya berjumpa, ciri khasnya adalah matanya merah karena kurang tidur, rambutnya berantakan, di tangan kiri atau kanan selalu membawa buku. Memang Chairil dikenal sebagai seorang yang gila dan kutu buku,” kisahnya.

Masuk Penjara
Sehabis diterima Presiden Soeharto di Istana Merdeka sekitar tahun ‘90-an, Ny. R.H. Soeparsono yang saat itu sedang mendampingi suaminya didekati seorang wartawan yang kebetulan tahu ”kisah khusus”-nya dengan Chairil Anwar. Wartawan itu bertanya andaikata penyair ini hidup di zaman Orde Baru, apa yang bakal terjadi?
Dengan terenyum, Ny.R. H. Soeparsono menjawab, ”Pasti dia masuk tahanan atau penjara. Chairil adalah seorang seniman yang jujur, tak tahan dan tidak bisa melihat hal-hal yang kurang baik dan kurang benar. Dia selalu berkata apa adanya.”
Istri dokter ini masih suka menyanyi, terutama lagu-lagu klasik. Rumahnya di komplek ABRI, Magelang di tahu 60-an pernah dijadikan markas seniman-seniman Magelang untuk berlatih drama.
Tidak heran kalau Sri Ajati alias Ny.RH.Soeparsono dalam usianya yang ke-83 tahun lebih masih dekat dengan seniman dan masih aktif mengikuti perkembangan kesenian di Indonesia dan dunia Internasional.
Ada kisah lucu di tahun ‘70-an. Waktu itu, rumahnya sedang dipakai oleh seniman-seniman Magelang yang tergabung dalam Teater Magelang (Tema) pimpinan Hamung Tukijan berlatih drama Mega-Mega karya almarhum Arifin.C.Noer. Dalam latihan terkadang terdengar suara keras dan teriakan-teriakan. Mendengar suara itu, salah seorang tetangganya, Ny.Roos Taher berlari-lari mendatangai rumahnya untuk melihat apa yang terjadi.
”Ketika melihat yang terjadi di rumah saya, para seniman yang sedang berlatih drama, Ny. Roos Taher hanya tersenyum, dan malah mengikuti latihan itu sampai usai,” kata Ny. R.H.Soeparsono dengan tersenyum.
Siapa Ny. Roos Taher? Ia adalah isteri Jenderal Taher, yang waktu itu menjabat Gubernur AKABRI. Dia juga seorang seniwati, yang pernah mengajar teater di IKJ.
(SH/bambang soebendo)

Sumber:

http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2002/05/1/bud01.html

Diakses pada hari: Senin, 22 Juni 2009 11:55am

Presiden Termiskin di Dunia

Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad saat diwawancara oleh TV Fox (USA) soal kehidupan pribadinya, "Saat Anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang Anda katakan pada diri Anda?" Beliau menjawab, "Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya: Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani Bangsa Iran."

Berikut adalah sosok Ahmadinejad yang membuat orang kagum kepadanya: Saat pertama kali menduduki kantor kepresidenan, beliau menyumbangkan seluruh karpet istana Iran yang sangat tinggi nilainya itu kepada mesjid-mesjid di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.

Beliau mengamati bahwa ada ruangan yang sangat besar untuk menerima dan menghormati tamu VIP, lalu ia memerintahkan untuk menutup ruangan tersebut dan meminta protokoler untuk menggantinya dengan ruangan biasa dengan 2 kursi dari kayu. Meski sederhana tetap terlihat mengesankan.

Di banyak kesempatan, beliau bercengkrama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenan.

Di bawah kepemimpinannya, saat beliau meminta menteri-menterinya datang kepadanya untuk memberikan dokumen-dokumen yang telah ditanda tanganinya berisikan arahan yang terutama sekali menekankan para menterinya untuk tetap hidup sederhana. Beliau mengawasi seluruh rekening pribadi menteri dan kerabatnya agar para menterinya dapat tetap menegakkan kepala dengan penuh kehormatan saat berakhir masa jabatannya.

Langkah pertama beliau adalah mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977; sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di daerah kumuh di Teheran; saldo rekening bank yang amat sedikit; serta satu-satunya uang masuk adalah gaji bulanannya.

Gaji beliau sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai USD 250.00.

Saat ini Sang Presiden masih tinggal di rumah sederhananya. Hanya itulah yang dimiliki seorang presiden dari sebuah negara penting dan strategis secara ekonomi dan politik yang memiliki banyak minyak dan kuat di bidang pertahanan. Beliau bahkan tidak mengambil gajinya dengan alasan bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan sang presidenlah yang bertugas menjaganya.

Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenannya ialah tas yang selalu beliau bawa tiap hari berisi sarapan: roti isi atau roti keju yang telah disiapkan sang istri dan selalu memakannya dengan gembira. Beliau juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden.

Beliau mengubah kebijakan pesawat terbang kepresidenan menjadi pesawat kargo sehingga menghemat pajak masyarakat. Untuk dirinya, beliau meminta terbang dengan pesawat biasa kelas ekonomi.Kerap mengadakan rapat bersama menteri untuk memperoleh info tentang kegiatan dan efisiensi yang sudah dilakukan. Beliau memotong protokoler istana sehingga menteri-menterinya dapat langsung masuk istana tanpa hambatan dan prosuder yang berbelit. Beliau pun menghentikan kebiasaan upacara seperti karpet merah, sesi foto atau publikasi pribadi.

Saat menginap di hotel, beliau meminta kamar yang tidak terlalu besar tanpa tempat tidur. Beliau lebih suka tidur di lantai beralaskan karpet dan selimut. Apakah prilaku tersebut merendahkan presiden?


Sepanjang shalat Anda dapat melihat beliau tidak duduk di shaf paling depan.

Bahkan saat adzan berkumandang, beliau langsung shalat di manapun beliau berada dengan hanya beralaskan karpet biasa.

Baru-baru ini, beliau baru saja menikahkan puteranya. Tetapi, pernikahan ini layaknya pernikahan kaum buruh. Di pesta pernikahan tersebut hanya pisang, apel, dan jeruk saja. Subhanallah. Semoga Allah senantiasa melindungi dan merahmati beliau. Semoga suatu saat Indonesia pun akan memiliki presiden seperti itu. Amin.

Sumber:
www.aneh22.blogspot.com,
Diakses pada hari: Senin, 22 Juni 2009 11:50am

Koran Wifaq menyatakan bahwa foto-foto yang diambil oleh adik sang presiden tersebut dipublikasikan oleh media massa di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat.

Saturday, June 20, 2009

Khalil Gibran - Love Story wa Totsuzen ni

Love Story wa Totsuzen ni = Kisah Cinta Tak Terduga

Dalam perjalanan masa muda Khalil Gibran ada beberapa hal dan peristiwa yang penuh kesedihan, yaitu: rasa cinta kepada Ibu dan keluarganya, rasa cinta kepada tanah airnya, dan hubungan cintanya dengan perempuan-perempuan yang pernah dekat dengan perasaannya, baik dengan kekasih maupun sahabat yang mengerti dirinya. Cinta romantiknya tak pernah menjadi seperti harapannya dan selalu berakhir dengan kesedihan, meski kemudian dia mencoba menjalin cinta kembali dengan beberapa wanita yang amat dekat dan mempengaruhi hidupnya. Namun, sampai akhir hidupnya ia tetap hidup sendiri. Pengalaman ini membuat tutur bahasa Gibran tentang cinta hampir semuanya bernuansa kesedihan. Beberapa perempuan yang sangat mempengaruhi Gibran di antaranya:

1. Hala Fakher
Pada liburan musim panas kedua di Bisharri, Gibran mengenal keluarga Tannous Asad Hanna Fakher yang terkemuka di masyarakatnya. Kemudian Gibran jatuh cinta terhadap putri Tannous Asad Hanna Fakher, Halla Fakher. Begitupun dengan Hala Fakher. Di sebuah hutan dekat biara Mar Sarkis adalah tempat pertemuan rahasia mereka berdua oleh karena hubungan cinta Gibran dan Hala dilarang oleh kakak Hala. Hubungan mereka kemudian berakhir dengan perpisahan yang menyedihkan. Dalam 'Sayap-Sayap Patah', Gibran mengenang Hala dengan nama Selma Karamy yang dipaksa menikah dengan keponakan seorang Uskup. 'Sayap-Sayap Patah' menetapkan Gibran sebagai seorang pembela hak asasi perempuan Pertama di Timur Tengah.
Gibran juga mengutarakan sifat temperamen masa remajanya: "tercabik oleh dua kekuatan. Kekuatan pertama mengangkatnya dan menunjukkan kepadanya keindahan eksistensi lewat mega impian; yang kedua mengikatnya pada bumi dan memenuhi matanya dengan debu serta menguasainya dengan kecemasan dan kegelapan. Dalam 'The Broken Wings', Gibran dapat meredakan sifat temperamennya ketika hubungan cintanya dimulai dengan Hala Fakher. (Bushuri dan Joe Jenkins, 2000: 51)

2. Josephine Preston Peabody
Seorang penyair wanita yang lembut dan luar biasa cantik ini berusia 24 tahun, berasal dari keluarga ningrat. Josephine-lah yang menghibur Gibran ketika Ibunya sakit dan tahun-tahun berduka Gibran ketika meninggalnya. Atas bantuannya, lukisan-lukisan Gibran memperoleh sambutan hangat dari masyarakat seni dan sekaligus menjadikannya seorang seniman. Josephine menulis puisi pendek yang diberinya judul "Hits Boyhoos" dan kemudian mengubahnya menjadi "The Prophet". Menurut banyak pengamat bahwa benih-benih agung dalam tulisan Gibran yang terakhir 'The Prophet' kemungkinan tumbuh ketika berteman dengan wanita lembut ini. (Young, 1927: 107).
Pada pameran foto Fred Holland Day di Boston Camera Club 1898, adalah pertemuan pertama kali mereka, Gibran yang waktu itu berusia 15 tahun dan Josephine berusia 24 tahun. Tiga tahun kemudian, sepulang Gibran dari Lebanon mereka semakin dekat. Bagi Josephine, hubungannya dengan pemuda Lebanon ini menggugah imajinasinya dan memberinya wawasan ke dalam wilayah pemikiran baru; sedangkan bagi Gibran, Josephine menggerakkan di dalam dirinya perasaan-perasaan kuat diilhami oleh kecantikannya dan kecemerlangan pikiran-pikiran Josephine. (Brushui dan Joe Jenkins, 2000: 60-61). Pada ulang tahun Josephine yang ke-31 hubungan mereka berakhir.

3. Mary Elizabeth Haskell
Perempuan yang menjabat sebagai seorang Kepala Sekolah di Miss Haskell's School for Girls di Malborough Street, Boston yang populer. Pembawaannya anggun dan ramah ia mengilhami murid-muridnya untuk belajar dengan baik. (Bushrui dan Joe Jenkins, 2000: 139). Bulan Desember 1910 Mary dan Gibran makin sering menghabiskan waktu bersama-sama. Sebagai guru, Mary cermat membantu Gibran menyempurnakan bahasa Inggris lisannya, dan bermalam-malam ia membaca keras-keras puisi Swinburne untuk Mary (Bushrui dan Joe Jenkins, 2000: 141). Hubungan mereka yang makin erat, dan cinta mereka satu sama lain makin besar tercermin dalam Jurnal Mary. Karena mengenali semangat yang sama dalam diri Mary pada 10 Desember 1910, Gibran mengatakan kepada Mary "andainya bisa," menikahinya, tapi Mary menolaknya. (Gibran, 1915: 23).
Mary amat penting dalam perkembangan Gibran sebagai seorang laki-laki sekaligus filsuf dengan visi penyair. Dalam sebuah kalimat ia mengungkapkan hubungan mereka: "aku tertarik kepadamu dalam suatu cara istimewa, waktu pertama kali melihatmu. Aku kenal banyak orang di Boston waktu itu, orang lain mengganggap aku menarik. Mereka senang mengajakku bercakap-cakap, karena aku tidak lazim bagi mereka. Tetapi kau benar-benar ingin mendengar apa yang ada di dalam diriku. Kau terus membuatku menggali lebih dalam." (Bushrui dan Joe Jenkins, 2000: 65).

4. May Ziadah
Dia perempuan Palestina, seorang penyair, kritikus sastra, cerdas, dan aktif. Ia banyak menulis tentang beberapa hal dalam bahasa Arab, Inggris, dan Perancis. Dalam diri May Ziadah, Gibran menemukan teman dialog yang seimbang, yang mampu memahami beban batinnya serta mampu memberikan masukan dan dorongan untuk meringankannya. Gibran banyak mencurahkan segala beban dan angannya ke dalam surat-surat kepada May, baik tentang kondisi kesehatannya, perasaan-perasaan yang dirudungnya, harapan-harapan yang memenuhi kepalanya, dan kerinduannya akan pertemuan dengan May Zaidah sendiri.
Simbol yang digunakan Gibran untuk mengungkap kedewasaan yang hakiki pada diri manusia sekarang juga mulai menjadi simbol cinta abadi kepada May. Dalam surat-suratnya dengan May, Gibran menggunakan kata "rindu" untuk mencerminkan suatu kerinduan spiritual, suatu cinta yang tidak memerlukan kata-kata untuk mengungkapkan dirinya sendiri karena merupakan himne suci yang terdengar lewat kesunyian malam. Cinta semacam itu sulit digambarkan, sekalipun melibatkan unsur Platonik dan Spiritual (Bushrui dan Joe Jenkins, 2000: 295). Gibran dan May, ditakdirkan tidak saling bertemu tetapi semakin dapat menghayati cinta itu dalam hati mereka masing-masing.

Dari:
Kisah Cinta Kahlil Gibran Bernuansa Kesedihan. Mau tau?,
http://www.wattpad.com/121511-Kisah-Cinta-Kahlil-Gibran-Bernuansa-Kesedihan-Mau-tau-?p=1
Diakses pada hari: Sabtu, 20 Juni 2009 20:50pm
Gambar:
Josephine: http://isites.harvard.edu/fs/docs/icb.topic563112.files/Harvard%20Poet%Images/peabody_josephine.jpg
May Ziadah:
http://www.proud2blebanese.com/pics-lg/613.jpg
Khalil Gibran:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kahlil_Gibran



Diolah Dari Buku Berjudul: Filsafat Kahlil Gibran - Humanisme Teistik. Drs. Miftahul Munir, M. Hum. Penerbit Paradigma, Yogjakarta. Cetakan 1, 2005.

Muhammad Adam Hussein Adamssein
Mahasiswa Guru PPKn
Semester II
STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan) di Sukabumi.

Thursday, June 4, 2009

Carradine Found Hanged in Thai

Please read also English Version on the below passage:

BANGKOK/LOS ANGELES (Reuters) – Aktor David Carradine, bintang pertunjukan “Kung Fu” Amerika tahun 1970-an, ditemukan telanjang dan tewas tergantung dengan seutas tali di toilet di kamar mewahnya di Hotel Bangkok hari kamis (5 Juni 2009, penj.), ujar Polisi Thailand.

Tidak ditemukan tanda-tanda adanya orang lain di kamar tersebut dan mayat aktor berumur 72 tahun itupun kemudian dikirim ke sebuah rumah sakit untuk di-otopsi, kata polisi. Hasil otopsi diperkirakan keluar hari Jum’at (6 Juni 2009, penj.).

“Dia ditemukan tergantung dengan seutas tali di toilet kamarnya,” Letnan Kolonel Pirom Jantrapirom dari Kepolisian Lumpini di Bangkok mengatakan kepada Reuters.

Carradine, berasal dari keluarga pemain sandiwara dan merupakan anak tertua dari aktor watak John Carradine, memiliki karir yang panjang di dunia siaran, televisi, dan film seperti menjadi Sutradara di film Quentin Tarantino “Kill Bill: Vol. 1 dan “Kill Bill: Vol. 2.

Perwakilan Manager di Los Angeles mengatakan bahwa sang aktor berada di Thailand untuk membuat film yang berjudul “Stretch,” dan sementara beberapa media berspekulasi bahwa kematiannya mungkin akibat bunuh diri, seorang juru bicara mengatakan baik mereka maupun keluarganya tidak percaya Carradine mampu membunuh dirinya sendiri.

Keluarganya amat terguncang,” kata Tiffany Smith dari management perusahaan Carradine, Binder & Associates. “Mereka juga sama-sama percaya akan hal itu seperti kami. Tidak mungkin David bunuh diri.

Smith menyatakan sedang menunggu berita selanjutnya dari laporan polisi.

Dalam otobiografinya tahun 1995 “Endless Highway,” Carradine menulis bahwa dia pernah mencoba bunuh diri saat berumur 5 tahun.

Buku tersebut juga menggambarkan dia menggunakan obat, dari LSD hingga kokain, dan diakhiri dengan sebuah catatan usahanya di pertengahan 1990-an untuk hidup sehat dengan mengikuti kelompok pendukung alkoholik.

FANS BERAT

Belasungkawa datang dari selebritis Hollywood dan para penggemarnya memberikan komentarnya di website, www.david-carradine.com.

Martin Scorsese, yang menyutradarai Carradine di film tahun 1972 “Boxcar Bertha,” menyebut Carradine “seorang kolaborator ulung, aktor berbakat yang unik, dan mempunyai semangat luar biasa.”
Seorang poster (orang yang memberi komentar di website, penj.) pada website Carradine menulis, “Betapa menyedihkannya hari ini bagi mereka semua yang tumbuh dengan menonton film David Carradine.” Yang lainnya berkata RIP Grasshopper (Rest in Peace Grasshoper, penj.) – panggilan karakter “Kung Fu” Kwai Chang Caine, Rahib Pengembara di Barat Lama Amerika yang menjadi tokoh ikon pada TV Amerika di tahun 1970-an.
Aktor yang terlahir dengan nama John Arthur Carradine pada 8 Desember 1936, di Los Angeles dan sekolah di Universitas Negara Bagian San Francisco, tempat di mana dia belajar teori musik dan komposisi.

Saat menulis musik untuk sandiwara modern tahunan bagian drama, dia menemukan kegemarannya untuk pementasan, bergabung dengan perkumpulan sandiwara Shakespeare.
Setelah bekerja pada siaran “The Deputy” dan “The Royal Hunt of the Sun” berhadapan dengan Christopher Plummer, Carradine menyiarkan acara di peta Hollywood di tahun 1960-an di TV Barat seperti “Wagon Train” dan The Virginian” juga membintangi perannya dalam versi TV film barat-nya yang sukses “Shane.”

Tetapi perannya-lah dalam “Kung Fu” yang membuat popularitasnya semakin besar. Serial tersebut mengudara pada TV Amerika mulai tahun 1972 dan tiba-tiba mendapatkan fans beratnya melalui peran Caine, yaitu dari kalangan ahli bela diri di sebagian Asia dan pelajar hidupnya.

Serial tersebut menelurkan sebuah film dan bagian lainnya yang banyak. Secara keseluruhan, penghargaan bagi Carradine masuk lebih dari 200 perannya dal m film, TV, Video dan DVD menjangkau hampir lima decade.

Perannya sebagai Caine membuatnya memperoleh nominasi Emmy, penghargaan tertinggi TV Amerika, dan perannya sebagai Bill yang kejam dalam “Kill Bill: Vol. 2” membuatnya memenangkan nominasi Golden Globe yang keempat. Dia juga mendapat sambutan kritis untuk penyanyi lagu rakyat yang dibawakannya Woody Guthrie dalam film nominasi Oscar tahun 1976 “Bound for Glory.”

Carradine menikah lima kali dan memiliki dua anak perempuan dari pernikahan-pernikahan sebelumnya. Istri terakhirnya Annie Bierman, dinikahinya tahun 2004. saudaranya-saudaranya, yang juga menjadi aktor seperti Keith Carradine.

"Kung Fu" actor Carradine found hanged in Thai hotel (Reuters)


BANGKOK/LOS ANGELES (Reuters) - Actor David Carradine, star of the 1970s U.S. television show "Kung Fu," was found naked and hanging dead from a rope in the closet of his luxury Bangkok hotel room Thursday, Thai police said.
No signs were found of other people in the room and the body of the 72-year-old actor was sent to a hospital for an autopsy, police said. Results are expected on Friday.
"He was found hanging by a rope in the room's closet," Lieutenant Colonel Pirom Jantrapirom of the Lumpini police station in Bangkok told Reuters.
Carradine, from a family of performers and the eldest son of character actor John Carradine, enjoyed a long career on Broadway, television and in movies such as director Quentin Tarantino's Kill Bill: Vol. 1" and Kill Bill: Vol. 2.

Representatives for his Los Angeles-based talent manager said the actor was in Thailand to shoot a film called "Stretch," and while several media reports speculated his death may have been a suicide, a spokeswoman said neither they nor his family believed Carradine was capable of killing himself.

"His family is in shock," said Tiffany Smith of Carradine's management firm, Binder & Associates. "They have the same belief we have. There was no way David did this to himself."

Smith declined further comment pending the police report.

In his 1995 autobiography "Endless Highway," Carradine wrote that he tried to kill himself when he was 5 years-old.

The book also described his extensive drug use, ranging from LSD to cocaine, and ended with a chronicle of his efforts in the mid-1990s to get sober by attending a support group for alcoholics.

FAN ANGUISH

Condolences came pouring in from Hollywood celebrities and fans posting comments on his website, www.david-carradine.com.

Martin Scorsese, who directed Carradine in 1972's "Boxcar Bertha," called Carradine "a great collaborator, a uniquely talented actor, and a wonderful spirit."
One poster on Carradine's website wrote, "What a sad day it is for all who grew up watching David Carradine." Another said "RIP Grasshopper" -- the nickname of his "Kung Fu" character Kwai Chang Caine, a wandering monk in America's Old West who became an iconic figure of U.S. TV in the 1970s.

The actor was born John Arthur Carradine on December 8, 1936, in Los Angeles and was educated at San Francisco State University, where he studied music theory and composition.

While writing music for the drama department's annual revues, he discovered his own passion for the stage, joining a Shakespearean repertory company.

After working on Broadway in "The Deputy" and "The Royal Hunt of the Sun" opposite Christopher Plummer, Carradine earned a spot on Hollywood's map in the 1960s in TV westerns such as "Wagon Train" and "The Virginian" as well as his starring role in a TV version of the hit western movie "Shane."

But it was his role in "Kung Fu" that earned the actor his greatest fame. The series aired on U.S. television starting in 1972 and immediately won a large fan base for Carradine as Caine, a half-Asian martial arts expert and student of life.

The show spawned a movie and numerous other offshoots. Overall, Carradine's credits include more than 200 roles in movies, TV, video and DVD spanning nearly five decades.

His role as Caine earned him a nomination for an Emmy, U.S. TV's highest honor, and his turn as the villainous Bill in "Kill Bill: Vol. 2" led to his fourth Golden Globe nomination. He also won critical acclaim for portraying folk singer Woody Guthrie in the Oscar-nominated 1976 film "Bound for Glory."
Carradine was married five times and had two daughters from previous marriages. His latest wife was Annie Bierman, whom he married in 2004. His brothers include actor Keith Carradine.

(Additional reporting by Laura Isensee and Alex Dobuzinskis in Los Angeles; editing by Todd Eastham)

Source:
“Kung Fu” Actor Carradine found hanged in Thai Hotel (Reuters),
http://movies.yahoo.com/news/movies.reuters.com/quotkung-fuquot-actor-carradine-found-hanged-thai-hotel-reuters,
Accessed on Friday, June 5, 2009 11:06am,
Translated by Saif Ali.